Selasa, 22 April 2014

Ilmu Feng Shui Dalam Siasat Dagang Teh



Bermula Pada Keunikan Etiket Kemasan Teh

Yang membuatnya unik adalah, merek-merek tersebut menggunakan bahasa yang kuno, lugu, ketinggalan jaman bahkan terkesan ndeso atau kampungan, seperti; teh Tjatoet, teh Gardoe, teh cap Dakon dan banyak lagi. Tidak seperti merek produk teh yang lain, yang lebih modern, baik dari pilihan nama ataupun kemasannya, yang sudah memiliki kesadaran akan merek, bahwa apa yang dibaca dapat mengimajinasikan pada rasa dan jenis teh di dalamnya, seperti; Sariwangi yang menunjuk pada sifat produk teh wangi, teh Hijau Daun menunjuk pada jenis teh hijau yaitu teh yang tidak melewati proses fermentasi, atau Sliming tea yang menunjuk pada kegunaan sebagai teh diet. Lebih uniknya lagi adalah, pada beberapa kemasan dengan merek bahasa Jawa, tertulis nama pabrik yang menunjuk pada nama-nama etnis Tionghoa, seperti nama pabrik teh Kwee Pek Hoey, yang menggunakan merek Teh Tjatoet (Jw: sebuah alat besi yang sering digunakan tukang kayu untuk mencabut/mengait paku). Fakta-fakta tersebut menuju pada suatu persoalan, yaitu, tidak adanya relasi antara visual etiket dengan konsep kemasan teh yang nikmat. Apakah ada teh rasa catut? Dengan kata lain, seolah-olah kita tidak percaya bahwa ini produk teh. Artinya? Konsep etiket kemasan teh ini keliru. Tetapi apakah benar keliru?

Sejarah dan Budaya Menjadi Dasar Pengamatan

Karya yang diciptakan manusia bukan tanpa tujuan, apa yang dikerjakan manusia mengandung makna tertentu. Karya manusia merupakan simbol-simbol dalam ruang lingkup kebudayaannya (Tjetjep Rohendi, Bahan Diskusi Etiket Rokok, Galeri Semarang).

Parsons dalam Bachtiar (1982) juga mengemukakan kebudayaan adalah suatu sistem menyeluruh yang terdiri dari cara-cara dan aspek-aspek pemberian arti pada perilaku ujaran, perilaku ritual, dan berbagai jenis perilaku atau tindakan dari interaksi manusia satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan pada apa yang tertulis diatas, menguatkan asumsi bahwa elemen-elemen visual yang dipakai pada etiket kemasan teh mengandung suatu pesan budaya tertentu, dalam hal ini budaya Tionghoa. Budaya Tionghoa kaya akan mitos, mereka menggunakan mitos sebagai pedoman hidup. Karena obyek yang diteliti berhubungan dengan budaya Tionghoa, maka Feng Shui menjadi kode kultural yang dipakai untuk membantu kita memahami makna-makna yang terkandung di dalam elemen-elemen visual etiket kemasan teh.

Feng Shui

Feng Shui adalah bagaimana mengatur hidup harmonis dan seimbang dengan lingkungan untuk memperoleh nasib baik yang sangat menguntungkan. Mereka percaya segala sesuatu, harus ditempatkan, diarahkan dan diatur sesuai Feng Shui agar mendapatkan energi keberuntungan. Pada dasarnya bisa juga dikatakan bahwa Feng Shui adalah keterampilan dalam seni tata letak atau desain dengan pertimbangan konsep harmoni dan keseimbangan yin dan yang. Metode ini telah dipraktekkan di Cina sejak ribuan tahun yang lalu, untuk tata kota, istana, perbintangan dan logo-logo.

Etiket dan Kemasan

Etiket (Perancis: etiquette) menurut kamus Bahasa Indonesia berarti merek dagang, sepotong kertas yang ditempel pada barang dan menjelaskan tentang nama barang, nama pemilik, tujuan, alamat, dan sebagainya. Etiket pada awalnya ditempel pada pembungkus suatu produk atau kemasan, sebagai nama atau merek produk bersangkutan. Inilah juga yang disebut label, dan bahannya tidak hanya terbatas pada secarik kertas. Tetapi karena etiket semacam ini tidak tahan lama dan mudah lepas dari pembungkusnya, misalnya yang dilekatkan pada botol, kaleng, atau plastik, dalam perkembangannya, kemudian dicetak langsung pada pembungkusnya, menjadi kemasan yang menawan.

Banyak definisi tentang kemasan (packaging), yang intinya adalah suatu upaya di bidang seni dan teknologi yang bertujuan untuk membungkus dan melindungi sebuah produk saat akan dikirim, disimpan dan dikonsumsi baik secara fisik, indrawi maupun psikologis.

Feng Shui, Antara Identitas dan Siasat Dagang

Teh adalah salah satu produk perdagangan terbesar masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa. Dikatakan keturunan karena tidak semua masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah asli dari tanah Cina, tetapi telah banyak terjadi akulturasi (percampuran darah) antara Jawa dan Cina. Umur Feng Shui pun di Indonesia setua sejarah mereka di tanah air ini.

Perdagangan dan persaingan melahirkan kesadaran pentingnya cap atau merek bagi produk yang mereka jual, untuk membedakan produk satu dengan yang lain. Yang menarik untuk dicermati adalah, mengapa muncul merek-merek unik seperti teh Tjatoet, Gopek, Gardoe, Kepala Djenggot dan lain sebagainya? Dan mengapa mereka menggunakan gambar-gambar seperti catut, dakon atau rumah gardu sebagai ilustrasi etiket kemasan teh, yang tentu saja tidak ada relasinya dengan produk teh?

Dalam filosofi dan strategi berdagang orang Tionghoa, mereka akan beradaptasi pada lingkungan setempat, mengamati kebiasaan lingkungan dan belajar untuk mengenalnya. Identitas lokal seperti catut, tang, gardu, dakon digunakan menjadi tanda yang berfungsi sebagai pemikat. Keterpikatan masyarakat dikarenakan kedekatan mereka akan gambar itu. Bentuk gambar yang lugas dan sederhana sangat mudah untuk di hapal, mengingat saat itu masih banyak yang buta huruf. Bagi orang awam gambar itu tidak memiliki makna lebih, selain kedekatan mereka pada gambar dan merek tersebut. Tetapi disanalah, sebuah kode telah disamarkan demi penghormatan pada nilai-nilai budaya warisan leluhur dan keyakinan akan datangnya keberuntungan dalam penjualan.

Maka dapat disimpulkan bahwa budaya Tionghoa dan interaksi mereka dengan sosial di Jawa, menjadi konsep yang melatarbelakangi terciptanya merek dan visualisasi pada etiket kemasan teh tersebut. Banyak sekali makna-makna yang bersembunyi di balik elemen-elemen visual yang digunakan. Makna-makna tersebut adalah sebuah kode, sebuah kode kultural masyarakat Tionghoa, yaitu Feng Shui. Namun, akibat dari akulturasi, baik percampuran darah maupun konsep percampuran dua budaya, maka Feng Shui pun mengalami perubahan pada bentuk luar, tetapi tetap memiliki makna yang sama. Akulturasi dan penyesuaian diri bagi masyarakat Tionghoa di Jawa, adalah bentuk dari penerapan Feng Shui itu sendiri, yaitu tentang bagaimana hidup harmonis dan seimbang dengan lingkungan sekitar untuk memperoleh nasib baik yang sangat menguntungkan. Sehingga akhirnya, identitas lokal di Jawa, mereka ambil dan mereka maknai, memakai cara pandang Feng Shui sebagai simbol, yang dapat mereka yakini menjadi simbol-simbol keberuntungan. Inilah yang melatarbelakangi mengapa ditemukan merek teh berbahasa Jawa dan penggunaan benda-benda yang memiliki muatan lokal yang kuat, padahal pemiliknya adalah orang keturunan Tionghoa.

Lalu bagaimana hubungannya dengan disain komunikasi visual? Apakah dua prinsip ini, antara Feng Shui dan desain komunikasi visual akan berdiri sendiri-sendiri, dan saling mengintervensi demi sebuah keyakinan akan keberuntungan dan kesialan? Kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa dalam dunia dagang tidak ada satupun pedagang yang mau rugi, ini berlaku dimanapun. Maksudnya adalah, konsep Feng Shui dan Disain Komunikasi Visual, dalam hubungannya dengan etiket kemasan teh dan fungsi marketing, tidak mungkin menganjurkan tata letak dan penamaan merek yang buruk atau tidak membawa keberuntungan dalam penjualan, begitu juga dalam prinsip desain komunikasi visual, tidak mungkin merancang sebuah desain etiket yang tidak ideal, dengan pemilihan nama yang sulit untuk dimengerti dan diucapkan, bahkan memakai jenis huruf yang sulit terbaca, atau menggunakan komposisi warna yang tidak enak dipandang, jelas semua ini tidak ada di dalam prinsip-prinsip desain kemasan itu sendiri. Disinilah dasar logika yang akan ditekankan, bahwa diantara kedua prinsip tersebut, baik Feng Shui maupun disain komunikasi visual, memiliki kesamaan yang sejalan dalam seni penataan grafis, penciptaan nama merek, harmonisasi bentuk dan warna, bahkan seharusnya kedua prinsip ini, dapat saling melengkapi supaya terjadi keseimbangan.


Sumber: dgi-indonesia.


0 komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *